Memaknai pendidikan Indonesia di HARDIKNAS ini....*

Minggu, 01 Mei 2011


Hari ini tepat 2 Mei 2011 indonesia memperingati hari pendidikan nasional. Hari yang menjadi tonggak awal dari kemajuan pendidikan di indonesia.

Sejak indonesia merdeka pendidikan menjadi salah satu kredit point yang diharapkan menjadi pusat pertumbuhan dalam membangun indonesia. Pendidikan yang sejatinya diyakini sebagai salah satu jalan dan prioritas terpenting untuk memajukan warga negara Indonesia. Akan tetapi, realitas yang ada, tiap kali membicarakan pendidikan di negara yang sudah 63 tahun merdeka ini, ada rasa gamang yang mengganggu optimisme untuk keluar dari belitan masalah sumber daya manusia yang bermutu. Selama 66 tahun ini berbagai masalah masih menghantui dunia pendidikan kita di Hardiknas kali ini, mulai dari lembaga persekolahan yang menjadi tumpuan untuk mendidik individu-individu berkualitas dinilai masih tertinggal dalam menjawab tantangan zaman. Kontroversi pemberlakuan ujian nasional yang tiada henti, berbagai tindak kekerasan yang dilakukan guru terhadap muridnya. Sampai sinetron sinetron televisi Indonesia yang dengan baik mendidik para siswa SMA sampai SD tentang hasrat cinta lawan jenis dan menjadikan pelajaran sekolah menjadi pekerjaaan sampingan, selain itulah lahirlah komunitas kosmopolitan dan hedonis macam dance street clubs, dugem club, hippies, anak nongkrong, yang padat oleh aktivitas seni namun jauh dari usaha memperbaiki bangsa. Komunitas yang lahir dengan parameter moralnya sendiri. Generasi yang kebudayaannya dijajah kebudayaan bangsa lain. Generasi yang tercerabut dari akar budayanya. Memposisikan agama dan moral sebagai sesuatu yang teralienasi. Pertarungan kebudayaan yang bukan kitalah pemenangnya. Pendidikan kita pun ternyata bukan lagi menjadi tameng pelindung. Padahal, perubahan global yang pesat menuntut sumber daya manusia cerdas secara intelektual, emosional, spiritual, serta peduli terhadap persoalan lingkungan sekitarnya.


Pendidikan yang pada hakekatnya dianggap sebagai suatu proses memanusiakan manusia kita tidak ubahnya sebuah opera yang hanya dilakoni tanpa memahami hirarki dari proses itu sendiri. Praktik pendidikan yang dilaksanakan di sekolah malah meninmbulkan banyak ironi. Penekanan pendidikan belumlah membekali siswa menjadi manusia yang berkembang dalam multi-intelegensia. Anak-anak dihargai dari nilai-nilai akademis semata. Sekolah pun akhirnya masih dipandang sebagai lembaga yang membelenggu kebebasan siswa untuk bisa memaksimalkan potensi dan kreativitasnya. Bolehlah pemerintah mengklaim dalam lima tahun terakhir ini, sejak diberlakukannya ujian nasional tahun 2004, terjadi peningkatan mutu yang signifikan. Data statistik yang disodorkan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) memperlihatkan bahwa nilai rata-rata ujian nasional mengalami kenaikan dari rata-rata 5,5 menjadi 7,3. Persoalan bahwa angka-angka tersebut dicapai bukan dengan cara belajar drilling atau penyiapan siswa secara ”mati-matian” namun pada proses yang dianggap “penting sekolah tidak kena imbas” banyak hal yang dilakukan mulai dari manipulasi nilai hingga “dongkrak” nilai yang dilakukan untuk menghindarkan sekolah dari “embargo” bantuan dari pemerintah, karena dianggap tidak sukses melaksanakan pendidikan, sehingg di tingkat akhir setiap jenjang pendidikan tak membuat pusing petinggi negara ini. Pokoknya anak-anak sekolah Indonesia bisa lulus mendekati 100 persen. Tak peduli apakah konsep-konsep dasar dari setiap ilmu pengetahuan yang dipelajari siswa itu sungguh-sungguh dipahami dan mampu diaplikasikan dalam kehidupan. Polemik bagaimana menjalankan pendidikan yang membebaskan dan memberdayakan tiap warga memang tidak akan berhenti, bahkan di negara maju sekalipun. Namun, pendidikan di Indonesia secara umum dinilai masih belum memberikan optimisme yang cukup kuat untuk penyiapan sumber daya manusia yang mandiri, kreatif, kritis, berkarakter kuat, dan memiliki pengabdian bagi bangsanya. Bisa dikatakan sistem pendidikan di negeri ini nyaris kehilangan rohnya. Demikian banyak wacana, kritik, dan koreksi dari berbagai kalangan, tetapi belum juga menemukan formulasi yang tepat untuk memberdayakan pendidikan. Kalau toh ada upaya perbaikan, sering tidak produktif pada tataran aplikasi karena ujung-ujungnya sebatas pada pembangunan fisik dan simbol-simbol, bukan pada penguatan substansi. Kita tidak perlu meratapi kebodohan dan ketertinggalan sumber daya kita ketika dibandingkan dan disandingkan dengan negara lain. Apalagi kemudian dengan emosional kita mencoba mengejar ketertinggalan tersebut dengan semangat bersaing. Kegiatan gugat-menggugat siapa yang paling bersalah dalam membuat kebijakan pendidikan juga sebaiknya segera dihentikan karena tidak akan menemukan ujung pangkalnya. Jauh lebih bermanfaat adalah melakukan sesuatu daripada sekadar berpangku tangan membiarkan keterpurukan pendidikan yang akhirnya juga menjadi keterpurukan generasi Indonesia secara berkesinambungan.

Pendidikan yang seharusnya tidak hanya dimaknai dari nilai-nilai semata, apalagi selembar ijazah. Nyatanya, dengan memaknai pendidikan melampaui dari batas dinding-dinding sekolah, karena banyak orang pintar bukan dari bangku sekolah tapi proses kehidupan memberinya pendidikan yang berkarakter.

Peringatan Hardiknas kali ini menitik beratkan pada pendidikan karakter yang coba dibangun oleh pemerintah. Hal ini dianggap dapat membekali diri dalam menjalani proses pendidikan yang memanusiakan. Namun yang terjadi bukan pada bagaimana untuk mencapai tujuan itu.

Selama ini dari sekian banyak Peraturan Pemerintah dan perangkat hukum tentang pendidikan nasional, kita masih belum menemukan blue print yang bisa menunjukkan ke mana arah dunia pendidikan kita akan dibawa. Malahan pemerintah hanya sanggup melakukan ritual-ritual untuk memperingati hari pendidikan itu sendiri. Seandainya saja anggaran yang digunakan dalam ritual-ritual seperti itu dialihkan pada pendidikan yang menyentuh pada keberlangsungan pendidikan itu lebih baik daripada tiap tahun kita berdiri menghormati bendera melakukan ritual yang hanya menghabiskan anggaran pendidikan.

Semoga momentum HARDIKNAS ini memberikan kita spirit dalam melakoni peran dalam dunia pendidikan dengan menciptakan pendidikan berkualitas untuk semua bukan dalam bentuk visi atau wacana tapi pada penguatan melaksanakan aksi yang mulia ini......

*) Taufik Sandi, S.Pd

Guru Sekolah Negeri di Indonesia


0 komentar: