arti cinta dan eksistensi dalam kehidupan

Minggu, 22 Juni 2008

cinta adalah jiwa dari sebuah kehidupan

cinta adalah mata saat kita buta

cinta adalah kaki saat kita rapuh

cinta adalah jantung yang selalu berdenyut setiap saat

cinta adalah cinta

cinta adalah segalanya

berbicara tentang cinta, kita membincangkan sesuatu yang tabu nan sakral, namun dibalik sakralnya itu cinta hadir dengan sifat elegan dan fleksibel itu kata temanku.

banyak hal yang membuat kita betapa mengagunngkan kata cinta. perlu kita pahami bahwa eksistensi dalam kehidupan ini berawal dari satu kata "cinta". 

hidup adalah pilihan, tentunya pilihan yang kita ambil dengan mengandalkan perasaan dan sedikit nurani, mengapa demikian? sebuah pertanyaan yang begitu mudah namun sulit untuk dijawab karena adalah cinta.

banyak orang ke tanah suci Mekka untuk berziarah

banyak pula orang ke Royal kasino untuk mengahamburkan uang

namun GIE hanya ingin duduk disamping pacaranya untuyk berbagi cinta

aku bukan pujanggas bukan pula seorang seniman yang reas menghabiskan waktunya hanya untuk menghayalkan sesuatu yang indah yang lahir dari perasaan hingga muncul "Cinta" terhadap objeknya.

cinta hingga saat ini merupakan tuhan ketiga dimuka bumi ini yang mana setiap orang lahir akan menjadi penganut setianya, karena cinta tidak memberikan batasan untuk menjadi pengikutnya tidak ada pula konflik didalamnya, namun terkadang cinta menjadikan sesorang menjadi syaitan yang hadir dengan tameng malaikat yang memberikan dorongan kepada kita untuk berbuat salah tapi itulah cinta. bagi kita yang mampu mendefenisikan cinta aku turut bahagia denganmu atas cintamu itu namun aku bukan pengikutmu dalam cintamu itu

 

Mengorek Palung Hati Kita

Jumat, 13 Juni 2008

Aku berjalan di belakang kafilah orang mulia
Berharap bisa menyingkap penyimpangan yang kutemui
Jika aku nanti menyusul mereka setelah kepergian mereka
Maka betapa banyak kelapangan untuk itu diberikan Sang Pencipta
Namun jika aku diam menetap di muka bumi
Maka sungguh berat mencapai kemuliaan…
(Setetes Air Mata Cinta Buat Nabi, Syeikh Shalih al-Fauzan (et al) hal. 15)


Pernahkah kita membayangkan bahwa orang-orang yang telah mendahului kita sedang melihat gerak polah kita yang ada di dunia lewat sebuah layar tv ? bayangkan, sekiranya Abu Hurairah melihat kita yang lamban dalam menghafal ilmu, terlebih lagi ilmu tentang kalamullah. Bayangkan apa jadinya jika Umar bin Khattab melihat kita, mungkin wajahnya memerah menahan marah, rahangnya gemetar karena gregetan melihat pemuda jaman ini yang akrab dengan istirahat dan hura-hura. Bayangkan jika Mushab bin Umair melihat kita, mungkinkah ia membiarkan kita, para pemuda yang seringkali memperalat ayah ibunya. Bayangkan Abdurrahman bin Auf melihat kita, yang saban bulan mendapatkan penghasilan tanpa pernah kita usahakan. Bayangkan Salman Al Farisi yang berjalan ribuan kilo demi menuntut ilmu melihat kita, yang senang ngocol, menghabiskan waktu dan usia di taman-taman kampus. Bayangkan semua itu…?
Bisa saja ini hanya pengandaian, ya sekiranya mereka melihat kita. Malukah kita? Mari kita puaskan gersang hati kita dengan tetes embun rindu yang insya Allah mulia ini. Dahulu, di suatu saat, seorang sahabat menangis tersedu-sedu dalam shalat dan do’nya. Tangisnya begitu hebat, benar-benar memilukan bagi yang melihatnya. Tak lama setelah itu, sekembalinya di rumah dan menemui anak-anaknya. Di rumah tawanya mengembang. Ia asyik bercengkrama dengan keluarganya. Lalu seketika itu ia terdiam…dan berlari keluar rumah, tergopoh-gopoh, dengan tubuh bergetar penuh ketakutan berlari menuju kerumah Rasulullah, sembari berteriak, “Ya Rasulullah….aku munafik….aku telah munafik….!!!. Tapi itu dulu.
Di negeri ini, begitu banyak yang menyatakan siap menjadi pemimpin. Bahkan berlomba-lomba mengkampanyekan dirinya. Sedangkan di jaman dahulu, berabad tahun lalu. Umar dengan amat berat menerima amanah sebagai khalifah. Ia berdiri di atas podium seraya menegaskan bahwa jika dirinya melenceng dari ajaran Allah, maka ia siap menerima koreksi dengan tebasan pedang di lehernya. Dan beliau membuktikan kata-katanya ketika ia terpekur diam dan mengucapkan terima kasih kepada seorang wanita tua yang mengkritik kebijakannya. Tahukah kita, Gubernur Hisym dahulu kala termasuk dalam daftar orang-orang termiskin di negeri tersebut. Ketika ia mendapatkan bantuan materi dari khalifah, beliau justru membagikannya kepada rakyatnya. Siapa yang tak kenal budak hitam ? Bilal, yang demi mempertahankan prinsipnya rela ditindih batu di panasnya padang pasir. Siapa pula Khubaib, yang rela tubuhnya dicincang kaum kafir Qurays ? Mereka benar-benar istiqamah pantang menyerah, pantang didekte oleh lawan. Pantang berubah oleh situasi dan kondisi. Mereka tidak kuning karena kunyit, tidak hitam karena tinta, tidak merah karena darah, tidak lekang karena panas, tidak lapuk karena hujan dan tidak asin karena garam. Mereka senantiasa setia pada asas dan kepribadiannya.

“Kalian adalah ummat terbaik yang di keluarkan buat manusia…” Qs. Ali Imron :110
“Mereka Ridha kepada Allah, dan Allah ridha kepada mereka…”

Betapa indah perilaku manusia-manusia itu. Siapa gerangan orang tuanya ? siapakah gerangan gurunya ? atau di kampus manakah mereka menimba ilmu ? atau sekalian diktat macam apa yang dibacanya ?. Sumbu keindahan komunitas di masa kejayaan Islam bertumpu dan berkiblat pada satu sosok yaitu Rasululah Sallallahu Alaihi Wassallam. Anis Matta, dalam bukunya Mencari Pahlawan Indonesia, menyebut Rasulullah sebagai sang guru. Beliaulah pembimbing sejati yang dengan ilmu dan kebijaksanaannya mampu mencetak kader-kader unggul sepanjang masa. Beliaulah da’i sejati yang menyeru manusia menuju yang Satu, mengarahkan ummat manusia menuju keharibaan Allah. Mungkin mudah bagi kita menjadi pahlawan, sebagaimana dunia tak pernah kekurangan pahlawan atau tokoh-tokoh besar, namun mereka tak mampu mencetak pahlawan-pahlawan baru atau menjadikan orang disekitarnya turut menjadi pahlawan.

“Pada mulanya adalah embun. Laut kemudian akhirnya. Dari laut, terbentang riwayat kepahlawanan yang agung takkan terulang. “
(Anis Matta, Mencari Pahlawan Indonesia, Hal. 222)

Sebagai seorang guru, negarawan, jenderal perang, lawmaker, pembaharu sosial, ayah dan suami yang penuh teladan menjadikan Michael H. Hart menempatkan Rasulullah sebagai tokoh teratas yang paling berpengaruh dalam sejarah. Saking banyaknya pujian tentang kredibilitas beliau ‘memaksa’ Abdul Wahid Khan untuk mengumpulkan rasa pengormatan intelektual non muslim tentang Rasulullah dalam bukunya, Rasulullah di Mata Sarjana Barat.
Pengandaian kita belum berakhir disini. Kini saatnya kita membayangkan seandainya Rasulullah mengetuk pintu kamar kost kita, hadir di depan kita. Apakah yang kita lakukan ? tidakkah kita malu kepada beliau, dengan koleksi buku kita yang kebanyakan jarang menceritakan tentang beliau. Koleksi kaset kalamullah kita, kaset ceramah tentang ajaran beliau yang teramat sedikit di banding kaset nasyid, lagu-lagu yang begitu menumpuk. Ketika Rasulullah berada di hadapan kita, mungkin setiap kita segera mengumpulkan sebanyak-banyaknya bahan untuk ditanyakan. Jamuan seperti apa yang akan kita siapkan untuk menyambut beliau ? saya yakin jamuan terindah yang akan kita persembahkan… alaesa kasalik, bukankah demikian ? karena beliau teramat indah untuk disaksikan. Jika rindu padanya teramat dalam, maka seharusnya wasiatnya tidak kita lupakan sedikitpun. Akankah kita mengabaikan begitu saja sunnah-sunnah beliau yang ia pertahankan dengan hinaan, hujatan, darah, peluh dan air mata beliau ? adakah waktu kita untuk menyelami sirah beliau, atau kita sudah cukup puas dengan memiliki buku Sirah Nabawiyah yang kemudian kita biarkan di sudut-sudut berdebu rumah kita ? berapa jam kita memuaskan kerinduan kita dengan mengkhayati kalam mu’jizatnya ataukah selama ini al-Qur’an hanya terletak di pinggiran hati kita?
Kini, kita hanya bisa membayangkan dan mencoba meresapi semangat mereka. Akh, semoga saja kita punya waktu dan kemampuan untuk mengkhayati, agar dengan begitu burung jiwa yang lemah dapat kembali terbang dengan gagahnya…di atas cakrawala kehidupan.
Ada banyak palung dalam hati kita. Palung yang bisa saja saat ini tempat berkumpulnya gumpalan dendam noda. Palung yang selama ini kita biarkan terkubur oleh konstruksi bangunan berpikir metropolis. Beranikah kita untuk membersihkan palung hati kita ? mengoreknya, kemudian mengisinya dengan kerinduan. Lalu kita menyebutnya sebagai palung rindu. Ya, itulah palung rindu kita, sebagai sumur hikmah yang tak pernah kering, sebagai penghubung kita dengan manusia-manusia unggul terdahulu. Hayya… kita hidupkan kerinduan kepada Rasulullah dan para sahabatnya sembari memupuk harap agar kita dapat berjalan beriringan dengan kafilah mereka di jannah-Nya nanti.
Beranikah kita membuka situs tentang mereka…
yang selama ini bisa saja kita menganggapnya, sebagai situs purbakala???

Menyoal Moralitas Iklan Pendidikan

Di tengah masa penerimaan (maha)siswa baru seperti saat ini, bukanlah sesuatu yang asing lagi bila kita melihat di sudut-sudut jalan tampak membludak iklan-iklan lembaga pendidikan baik dalam bentuk baliho, spanduk maupun dalam bentuknya yang (bisa jadi) kurang sopan seperti di tempel di pohon, di kendaraan umum, di tiang listrik bahkan di bak sampah. Dan tentu saja media cetak maupun elektronik turut kebanjiran iklan lembaga pendidikan. Dari sini, penulis dengan keawaman wawasan berusaha sedikit mengkritisinya.  

Sedikit Tentang Iklan

Komunikasi komersial yang dikemas dalam bentuk periklanan pada mulanya dikenal hanya dalam dunia bisnis yang berorientasi pada pengembangan ekonomi yang bersifat kapitalis. Pada masa Yunani kuno praktik periklanan dalam bentuknya yang paling purba yakni periklanan lisan telah dilakukan oleh para penjaja keliling yang keliling kota berteriak menawarkan barang dagangannya. Sementara di Romawi orang-orang memasang iklan dalam bentuk tulisan-tulisan yang ditempelkan pada dinding kota namun baru sebatas untuk mengumumkan pertandingan pertarungan para gladiator dan mencari buronan. Baru kemudian sekitar tahun 1440-an saat Johannes Gutenberg dari Mainz Jerman menemukan mesin cetak maka terjadi suatu revolusi penting yang memicu perkembangan dunia periklanan, penemuan tersebut memungkinkan iklan-iklan dapat disampaikan lewat lembaran-lembaran cetakan. Sekitar tahun 1662 dengan terbitnya surat kabar pertama di Inggris yaitu The Weekly News oleh Nicholas Bourne dan Thomas Archer semakin memberikan dorongan luar biasa atas perkembangan iklan dalam bentuk iklan surat kabar. Hingga menjejak di zaman Bill Gates ini bentuk periklanan mencapai puncak kecanggihannya lewat media cetak, elektronik dan alat telekomunikasi lainnya, lewat browsing di internet misalnya.  
Namun dalam perkembangan selanjutnya, dunia periklanan terjebak pada situasi yang tidak sederhana, tidak lagi hanya berbicara pada tataran penginformasian produk belaka tetapi dalam banyak hal menjadi persoalan baru dalam masyarakat. Prinsip iklan jelas, yakni mengandung unsur bujukan, rayuan kepada masyarakat untuk membeli dan memanfatkan produk atau jasa yang ditawarkan. Namun unsur membujuk ini terkadang memperdaya masyarakat, melecehkan produk lain, mengabaikan kode etik dan tata krama kehidupan masyarakat yang bisa jadi sering bertentangan dengan substansi produk atau jasa yang ditawarkan. Bila kita cermati berbagai iklan di berbagai media maka nampaklah iklan tidak sebatas bermaksud menyampaikan informasi tentang produk atau jasa tetapi sampai pada tingkat bagaimana konsumen terhipnotis untuk selalu menggunakan produk yang diiklankan, yang bisa jadi sebenarnya bukanlah sesuatu yang penting tetapi oleh iklan dijadikan itu sebagai kebutuhan. Belum lagi persoalan terjadinya eksploitasi besar-besaran terhadap anak-anak dan perempuan, tak perlu lagi mencari keterkaitan antara perempuan dengan oli mesin, yang jelas produk menjadi menarik jika mengekspos perempuan cantik dan seksi. Analisis terhadap iklan telah banyak dilakukan oleh pengamat, dan saya pada kesempatan ini membatasi diri untuk menyorot iklan pendidikan yang saya lihat masih kurang mendapat ’apresiasi’ di masyarakat.

Mendagangkan sekolah
    
Sebagaimana yang saya tulis di awal, serangan iklan lembaga pendidikan di tiap awal tahun ajaran baru betul-betul membabi buta. Tentu kita dapat menyaksikan sendiri bagaimana masing-masing lembaga asyik menonjolkan dirinya sendiri. Ada yang menawarkan fasilitas tanpa uang pendaftaran, tanpa pembayaran gedung, pilihan waktu kuliah –pagi, sore atau malam-, staff pengajar bonafide lulusan luar negeri, dilengkapi laboratorium, ruang belajar ber-AC, perpustakaan lengkap hingga memamerkan alumninya telah tersebar diberbagai instansi, bahkan tak sedikit pula pengelola lembaga pendidikan yang mengiklankan lembaganya dengan menampilkan figur terkenal di masyarakat (artis, dsb) dan berbagai model bujukan lainnya. Yang jelas kebanyakan lembaga pendidikan memberi janji seragam; lulusannya akan memperoleh pekerjaan yang layak, gaji tinggi dan tentu saja karir yang terus menanjak.   
Untung jika lembaga yang diiklankan itu benar adanya dan memiliki fasilitas sesuai dengan yang dijanjikan, tetapi bila hanya sekedar ’papan nama’ tentu yang menjadi korban adalah masyarakat sendiri. Sudah cukup banyak bukti yang terkuak betapa tidak sedikit lembaga pendidikan yang tidak bertanggungjawab di negeri ini. Pengalaman Janche Pulumbara yang terkelabui spanduk dan brosur sebuah PTS di Jakarta Pusat bisa menjadi warning bagi kita (Kompas, 12 Juni 2005). Sekretaris Dirjen Dikti Tomy Ilyas mengakui adanya sejumlah PT yang mengiklankan lembaganya tidak sesuai kenyataan. Beliau menghimbau agar calon (maha)siswa baru atau orangtuanya bisa mengecek tentang eksistensi sebuah lembaga pendidikan langsung ke Dirjen DIKTI atau lewat situs www.dikti.org. 
Bentuk penipuan dengan mengiklankan lembaga pendidikan lebih dari yang sebenarnya merupakan suatu bentuk kriminalitas pendidikan. Dan bisa jadi kriminal dalam arti yang seharfiah-harfianya, sederajat dengan maling, pemerkosa, penyamun, koruptor dan bentuk kriminal lainnya. Karena itu masyarakat haruslah hati-hati dalam mensikapi dan menghadapi berbagai iklan pendidikan yang ada. Jangan terjebak oleh gombalan apalagi hanya oleh penampilan brosur mengenai suatu lembaga pendidikan yang luks, ekslusif dan mengkilat. Lembaga pendidikan yang tersohor sekalipun belum menjadi jaminan memiliki kualitas seperti yang diiklankan. Adanya semacam kompetisi antar lembaga pendidikan ini disebabkan semakin banyaknya jumlah lembaga pendidikan sehingga otomatis yang terjadi adalah persaingan dalam memperebutkan siswa. Ini disebabkan sejak awal oleh luwesnya aturan yang ada dibirokrasi pendidikan. Aturan menyangkut tentang pendirian sebuah sekolah nampaknya begitu mudah dan leluasa. Kalau niat mendirikan sekolah untuk melepaskan negara ini dari persoalan kulitas pendidikan yang semakin menukik tajam tentu saja bukan persoalan bahkan membantu negara. Tapi yang menjadi persoalan dalam banyak kejadian justru yang terjadi sebaliknya bukannya bermotif pemerataan pendidikan melainkan semata-mata meraup untung. Mendirikan sekolah tidak ubahnya membuka biro travel, toko, ataupun super market yang mendatangkan profit. Buktinya, mengiklankan sekolah tidak jauh beda dengan model pengiklanan sebuah produk kosmetik, dsb. Bahkan ada Perguruan Tinggi yang dipromosikan oleh seorang artis yang hanya tamatan SMU. Lembaga pendidikan bukannya sibuk membenahi kualitas pengajaran tetapi lebih disibukkan untuk mempermewah bangunan dengan fasilitas yang menakjubkan, tentu saja bukan dengan motivasi membenahi kualitas pendidikan tetapi untuk meraup laba sebab sekolah semacam ini tentu saja dipersembahkan hanya untuk kalangan yang berduit.  
Kita tentu saja tidak begitu saja mennggeralisasikan, yang dibutuhkan hanyalah kejelian dan kehati-hatian. Agar mendapatkan lembaga yang benar-benar dapat dipertanggungjawabkan maka masyarakat perlu mencari informasi secara detail dengan misalnya, melihat kondisi kampus, dosennya, izin operasionalnya dan juga statusnya. Karena jelas, kesalahan dalam memilih lembaga pendidikan memiliki implikasi besat terhadap pengembangan diri dan masa depan anak. Disamping itu hendaknya pengelola lembaga pendidikan tidak lagi mengobral janji terlalu muluk-muluk tanpa bukti hanya sekedar untuk merekrut (maha)siswa baru atau lebih tragis lagi hanya untuk meraup keuntungan dari segi finansial. Bila realitas iklan pendidikan hanya sebatas obralan janji lewat iklan-iklan boombatisnya, tentu kita sulit membayangkan betapa tragisnya nasib masa depan bangsa ini nantinya. Karena bila lembaga yang kita nilai selama ini sebagai benteng penjaga sains dan peradaban, sebagai titik pusat produksi dan pengembangan moral dan kebudayaan telah larut dalam ’kapitalisme’ yang menyesatkan dan tidak jujur lagi, siapa lagi yang akan kita percaya untuk membenahi bangsa ini ? 

Menyoal Moralitas Iklan Pendidikan

Di tengah masa penerimaan (maha)siswa baru seperti saat ini, bukanlah sesuatu yang asing lagi bila kita melihat di sudut-sudut jalan tampak membludak iklan-iklan lembaga pendidikan baik dalam bentuk baliho, spanduk maupun dalam bentuknya yang (bisa jadi) kurang sopan seperti di tempel di pohon, di kendaraan umum, di tiang listrik bahkan di bak sampah. Dan tentu saja media cetak maupun elektronik turut kebanjiran iklan lembaga pendidikan. Dari sini, penulis dengan keawaman wawasan berusaha sedikit mengkritisinya.  

Sedikit Tentang Iklan

Komunikasi komersial yang dikemas dalam bentuk periklanan pada mulanya dikenal hanya dalam dunia bisnis yang berorientasi pada pengembangan ekonomi yang bersifat kapitalis. Pada masa Yunani kuno praktik periklanan dalam bentuknya yang paling purba yakni periklanan lisan telah dilakukan oleh para penjaja keliling yang keliling kota berteriak menawarkan barang dagangannya. Sementara di Romawi orang-orang memasang iklan dalam bentuk tulisan-tulisan yang ditempelkan pada dinding kota namun baru sebatas untuk mengumumkan pertandingan pertarungan para gladiator dan mencari buronan. Baru kemudian sekitar tahun 1440-an saat Johannes Gutenberg dari Mainz Jerman menemukan mesin cetak maka terjadi suatu revolusi penting yang memicu perkembangan dunia periklanan, penemuan tersebut memungkinkan iklan-iklan dapat disampaikan lewat lembaran-lembaran cetakan. Sekitar tahun 1662 dengan terbitnya surat kabar pertama di Inggris yaitu The Weekly News oleh Nicholas Bourne dan Thomas Archer semakin memberikan dorongan luar biasa atas perkembangan iklan dalam bentuk iklan surat kabar. Hingga menjejak di zaman Bill Gates ini bentuk periklanan mencapai puncak kecanggihannya lewat media cetak, elektronik dan alat telekomunikasi lainnya, lewat browsing di internet misalnya.  
Namun dalam perkembangan selanjutnya, dunia periklanan terjebak pada situasi yang tidak sederhana, tidak lagi hanya berbicara pada tataran penginformasian produk belaka tetapi dalam banyak hal menjadi persoalan baru dalam masyarakat. Prinsip iklan jelas, yakni mengandung unsur bujukan, rayuan kepada masyarakat untuk membeli dan memanfatkan produk atau jasa yang ditawarkan. Namun unsur membujuk ini terkadang memperdaya masyarakat, melecehkan produk lain, mengabaikan kode etik dan tata krama kehidupan masyarakat yang bisa jadi sering bertentangan dengan substansi produk atau jasa yang ditawarkan. Bila kita cermati berbagai iklan di berbagai media maka nampaklah iklan tidak sebatas bermaksud menyampaikan informasi tentang produk atau jasa tetapi sampai pada tingkat bagaimana konsumen terhipnotis untuk selalu menggunakan produk yang diiklankan, yang bisa jadi sebenarnya bukanlah sesuatu yang penting tetapi oleh iklan dijadikan itu sebagai kebutuhan. Belum lagi persoalan terjadinya eksploitasi besar-besaran terhadap anak-anak dan perempuan, tak perlu lagi mencari keterkaitan antara perempuan dengan oli mesin, yang jelas produk menjadi menarik jika mengekspos perempuan cantik dan seksi. Analisis terhadap iklan telah banyak dilakukan oleh pengamat, dan saya pada kesempatan ini membatasi diri untuk menyorot iklan pendidikan yang saya lihat masih kurang mendapat ’apresiasi’ di masyarakat.

Mendagangkan sekolah
    
Sebagaimana yang saya tulis di awal, serangan iklan lembaga pendidikan di tiap awal tahun ajaran baru betul-betul membabi buta. Tentu kita dapat menyaksikan sendiri bagaimana masing-masing lembaga asyik menonjolkan dirinya sendiri. Ada yang menawarkan fasilitas tanpa uang pendaftaran, tanpa pembayaran gedung, pilihan waktu kuliah –pagi, sore atau malam-, staff pengajar bonafide lulusan luar negeri, dilengkapi laboratorium, ruang belajar ber-AC, perpustakaan lengkap hingga memamerkan alumninya telah tersebar diberbagai instansi, bahkan tak sedikit pula pengelola lembaga pendidikan yang mengiklankan lembaganya dengan menampilkan figur terkenal di masyarakat (artis, dsb) dan berbagai model bujukan lainnya. Yang jelas kebanyakan lembaga pendidikan memberi janji seragam; lulusannya akan memperoleh pekerjaan yang layak, gaji tinggi dan tentu saja karir yang terus menanjak.   
Untung jika lembaga yang diiklankan itu benar adanya dan memiliki fasilitas sesuai dengan yang dijanjikan, tetapi bila hanya sekedar ’papan nama’ tentu yang menjadi korban adalah masyarakat sendiri. Sudah cukup banyak bukti yang terkuak betapa tidak sedikit lembaga pendidikan yang tidak bertanggungjawab di negeri ini. Pengalaman Janche Pulumbara yang terkelabui spanduk dan brosur sebuah PTS di Jakarta Pusat bisa menjadi warning bagi kita (Kompas, 12 Juni 2005). Sekretaris Dirjen Dikti Tomy Ilyas mengakui adanya sejumlah PT yang mengiklankan lembaganya tidak sesuai kenyataan. Beliau menghimbau agar calon (maha)siswa baru atau orangtuanya bisa mengecek tentang eksistensi sebuah lembaga pendidikan langsung ke Dirjen DIKTI atau lewat situs www.dikti.org. 
Bentuk penipuan dengan mengiklankan lembaga pendidikan lebih dari yang sebenarnya merupakan suatu bentuk kriminalitas pendidikan. Dan bisa jadi kriminal dalam arti yang seharfiah-harfianya, sederajat dengan maling, pemerkosa, penyamun, koruptor dan bentuk kriminal lainnya. Karena itu masyarakat haruslah hati-hati dalam mensikapi dan menghadapi berbagai iklan pendidikan yang ada. Jangan terjebak oleh gombalan apalagi hanya oleh penampilan brosur mengenai suatu lembaga pendidikan yang luks, ekslusif dan mengkilat. Lembaga pendidikan yang tersohor sekalipun belum menjadi jaminan memiliki kualitas seperti yang diiklankan. Adanya semacam kompetisi antar lembaga pendidikan ini disebabkan semakin banyaknya jumlah lembaga pendidikan sehingga otomatis yang terjadi adalah persaingan dalam memperebutkan siswa. Ini disebabkan sejak awal oleh luwesnya aturan yang ada dibirokrasi pendidikan. Aturan menyangkut tentang pendirian sebuah sekolah nampaknya begitu mudah dan leluasa. Kalau niat mendirikan sekolah untuk melepaskan negara ini dari persoalan kulitas pendidikan yang semakin menukik tajam tentu saja bukan persoalan bahkan membantu negara. Tapi yang menjadi persoalan dalam banyak kejadian justru yang terjadi sebaliknya bukannya bermotif pemerataan pendidikan melainkan semata-mata meraup untung. Mendirikan sekolah tidak ubahnya membuka biro travel, toko, ataupun super market yang mendatangkan profit. Buktinya, mengiklankan sekolah tidak jauh beda dengan model pengiklanan sebuah produk kosmetik, dsb. Bahkan ada Perguruan Tinggi yang dipromosikan oleh seorang artis yang hanya tamatan SMU. Lembaga pendidikan bukannya sibuk membenahi kualitas pengajaran tetapi lebih disibukkan untuk mempermewah bangunan dengan fasilitas yang menakjubkan, tentu saja bukan dengan motivasi membenahi kualitas pendidikan tetapi untuk meraup laba sebab sekolah semacam ini tentu saja dipersembahkan hanya untuk kalangan yang berduit.  
Kita tentu saja tidak begitu saja mennggeralisasikan, yang dibutuhkan hanyalah kejelian dan kehati-hatian. Agar mendapatkan lembaga yang benar-benar dapat dipertanggungjawabkan maka masyarakat perlu mencari informasi secara detail dengan misalnya, melihat kondisi kampus, dosennya, izin operasionalnya dan juga statusnya. Karena jelas, kesalahan dalam memilih lembaga pendidikan memiliki implikasi besat terhadap pengembangan diri dan masa depan anak. Disamping itu hendaknya pengelola lembaga pendidikan tidak lagi mengobral janji terlalu muluk-muluk tanpa bukti hanya sekedar untuk merekrut (maha)siswa baru atau lebih tragis lagi hanya untuk meraup keuntungan dari segi finansial. Bila realitas iklan pendidikan hanya sebatas obralan janji lewat iklan-iklan boombatisnya, tentu kita sulit membayangkan betapa tragisnya nasib masa depan bangsa ini nantinya. Karena bila lembaga yang kita nilai selama ini sebagai benteng penjaga sains dan peradaban, sebagai titik pusat produksi dan pengembangan moral dan kebudayaan telah larut dalam ’kapitalisme’ yang menyesatkan dan tidak jujur lagi, siapa lagi yang akan kita percaya untuk membenahi bangsa ini ? 

Dunia Anak-anak yang Hilang

Anak-anak bukan milikmu
Mereka putra-putri kehidupan
Yang rindu pada dirinya
Kau bisa berikan kasih sayangmu
Tapi tidak pikiranmu...

Begitulah Kahlil Gibran, penyair asal Libanon berbicara soal hakekat kemanusiaan. Syair diatas dikutip dari buku kecil, The Prophet, Gibran’s master piece, 1976 yang telah diterjemahkan dalam lebih dari 20 bahasa. Syair Kahlil Gibran tentang anak tersebut memang indah dan bermakna dalam. Kita dapat menangkap bahwa esensialnya anak itu adalah milik dirinya sendiri. Para orangtua dan masyarakat secara umum hanyalah berkewajiban membesarkan dan mendidik. Ibu berkewajiban memberikan cinta hatinya tetapi pikiran anak itu adalah hak dirinya sendiri sepenuhnya. Orangtua dalam membesarkan dan mendidik dapat dengan cara memberikan pengetahuan dan isi-isi untuk bahan pemikiran anak itu; tetapi tidak sampai membuat pikiran-pikiran orangtua adalah harus sepenuhnya menjadi pikiran anak juga. Dari sinilah kemudian terjadi ’kekisruhan budaya’ (meminjam istilah Emha Ainun Nadjib) hubungan antara anak dan orangtua. Dalam banyak kejadian sering orang-orangtua kita bukan sekedar memberikan alternatif tetapi menganggap bahwa apa yang diberikan kepada anak adalah satu-satunya yang terbaik, tidak ada alternatif lain. Ajaran orangtua sepenuhnya harus dianut, dipatuhi dan orangtua bisa sakit-sakitan dan bersedih hati jika sang anak tidak mengikuti pikirannya. Dalam hal ini, seringkali orangtua menjadi tiran bagi anaknya. Orangtua menerapkan konsep pikirannya pada anaknya. Orangtualah yang mengarahkan dan menentukan jalan hidup dan masa depan anaknya. Orangtualah yang memilihkan cita-citanya, profesi, bahkan sampai hal yang paling privacy mengenai pilihan suami atau istri misalnya. Anak-anak sering dianggap sepenuhnya adalah milik orangtua yang tidak memiliki dunia sendiri. Bagaimana kemudian kita melihat anak-anak yang sebetulnya cerdas menjadi kurang bertumbuh bahkan teramat kerdil karena kebanyakan orangtua punya kecenderungan untuk terlalu mengatur mereka, terlalu menentukan, terlalu menyutradarai, terlalu mengarahkan, terlalu banyak memerintah dan melarang yang pada akhirnya membuat nafas kemerdekaan anak-anak menjadi tersengal-sengal. 

Kreativitas yang Terpasung
    
Kreativitas memerlukan kemerdekaan. Kemerdekaan disini bukanlah kebebasan yang sebebas-bebasnya. Tentu saja yang dimaksud adalah kemerdekaan dalam konteks kodrati manusia. Ketika orangtua memberi pandangan. Sang anak berhak sepenuhnya untuk menerima atau menolak pandangan tersebut. Perlu ada kebiasaan untuk memberikan kesempatan kepada anak untuk menentukan sendiri pilihannya, arah dari pilihan tersebut serta resiko apapun yang bakal terjadi dari pilihan tersebut. Persoalannya, anak kurang dididik untuk mengungkapkan dan mengenali dirinya. Anak lebih banyak dikendalikan daripada dimerdekakan. Sebab kemerdekaan itu besar resikonya dan dibutuhkan kesediaan untuk mungkin’diberontak’ oleh anaknya. Salah satu buktinya, polling yang pernah dilakukan oleh salah satu media tentang keinginan orangtua terhadap anaknya, hampir 70 % orangtua menginginkan anaknya rajin, sopan dan patuh dan hanya segelintir orangtua yang menginginkan anaknya cerdas dan kreatif. 

Anak-anak (di) Sekolah, The Lost Generation

Faktor penentu selanjutnya anak-anak kehilangan kreativitas dan dunianya adalah pendidikan formal dalam hal ini sekolah ataupun universitas. Sekolah yang idealnya menawarkan kegembiraan dan dunia petualangan yang bikin penasaran dalam banyak hal tidak lebih baik dari pola pendidikan orangtua kebanyakan. Di sekolah para anak didik terlalu disetting dan diformat sesuai dengan kehendak dan keinginan sekolah. Ketika memasuki halaman sekolah, anak-anak sebagai individu hilang secara autentik. Yang ada adalah penyeragaman yang menepis kekhasan manusia sebagai makhluk unik yang tak bisa dibandingkan dengan manusia lain diluar dirinya. Anak didik hanya memainkan peran pembantu, sebab guru adalah aktornya, pelajar hanya akan menjadi pelengkap penderita yang lebih diperlakukan sebagai obyek ketimbang subyek. Proses pendidikan semacam ini menurut Chaedar Alwasih (1993;23) hanya berfungsi untuk ‘membunuh’ kreativitas siswa, karena lebih mengedepankan verbalisme. Verbalisme merupakaan suatu asas pendidikan yang menekankan hapalan bukannya pemahaman, mengedepankan formulasi daripada substansi, parahnya lebih menyukai keseragaman bukannya kemandirian serta hura-hura klasikal bukannya petualangan intelektual. Model pendidikan demikian oleh Paulo Freire dikritik sebagai banking education, hubungan antara guru dengan murid sangat hirearkis dan bersifat vertikal; bahwa guru bicara, menjelaskan dan memberi contoh sementara murid menjadi pendengar saja.
Tidak banyak yang sadar bahwa dengan model pendidikan yang menjadikan murid semata-mata sebagi obyek adalah bentuk kekerasan dan pelanggaran terhadap anak. Pendidikan gaya bank menghalalkan dipakainya kekerasan untuk menertibkan dan mengendalikan para murid. Murid dibelenggu dan ditekan untuk mematuhi apapun perintah dan anjuran pendidik. Kesadaran individu dikikis habis dan mengggantinya dengan kesadaran kolektif yang seragam. Efeknya memunculkan kepribadian yang mekanik, mirip dengan benda mati yang kehilangan kebugaran dan kreativitas. Dari sinilah proses pembinatangan (bahasa halusnya: dehumanisasi) terjadi. 
Kita dapat saksikan bagaimana nasib anak-anak yang sekarang waktu yang seharusnya diisi dengan permainan dan kegembiraan ditelan untuk belajar, menghapal, memahami dan mengerti berbagai paket pengetahuan, dari pagi hinga sore mirip pekerja pabrik menghabiskan waktunya di ruang kelas untuk menelan pelajaran yang dalam banyak hal tidak menyenangkan. Seorang peneliti pendidikan menulis di harian Kompas (17 /8/2003) menurut temuannya rata-rata setiap murid SD kelas 3 sampai kelas 6 dalam setiap kuartal mempelajari sejumlah buku yang ketika ditimbang beratnya 43 kilogram, melebihi berat badan murid SD sendiri. Beban pelajaran ini kemudian diteskan lewat serangkaian ujian yang hasilnya kemudian dimuat dalam rapor yang penilaiannya berupa angka atau huruf. Parahnya, nilai kemanusiaan anak itupun direlevankan dengan nilai raport, semakin tinggi nilai raport maka akan semakin naik pula kemuliaan dan harga diri anak didik, orangtua dan gurunya. Korban dari sistem ini adalah eksistensi individu yang pada dasarnya memiliki kebebasan. Proses pendidikan yang seharusnya, sebagaimana makna sejatinya yakni menggiring keluar atau membebaskan potensi kemanusiaan yang ada dalam diri setiap individu belumlah terwujud. Yang ada justru pendidikan yang hanya menghasilkan airmata (Shindunata,2000). 

Kesimpulan
Kutipan dari Ghibran diatas, mengajak para orangtua dan para pendidik secara umum untuk mengubah pandangan mereka tentang anak. Anak adalah putra-putri kehidupan para pemilik masa depan. Mereka harus dipersiapkan dengan dikasihi dan dididik menjadi diri mereka sendiri agar tumbuh dewasa dan mandiri. Anak-anak mesti dibiasakan sejak dini dari hidupnya untuk selalu belajar kepada siapa dan dimana saja, mencari dan menemukan. Agar ia bisa memilih dirinya, bisa menentukan ungkapan pribadinya, agar tidak lagi mengatakan, “Inilah dada bapakku” tetapi secara tegas berani mengatakan”Inilah dadaku!”, begitu seharusnya seorang anak, kata Imam Ali. 
Seperti yang dipertanyakan juga oleh Emha Ainun Nadjib, dunia anak-anak itu ada mengapa kita tiadakan ?   
Dan buat Kak Seto -ketua Komnas Perlindungan Anak- , usia yang semakin bertambah semoga berkolerasi dengan kegigihanta memperjuangkan kemerdekaan anak-anak negeri.